I.
Pendahuluan
Realitas bangsa Indonesia menunjukkan pada 2 (dua) hal
yang signifikan. Pertama, penyebaran penduduk Indonesia terkonsentrasi di
daerah pedesaan. Kedua, mayoritas penduduk Indonesia terdiri dari komunitas
muslim. Terkait dengan realitas diatas, maka berbicara tentang pemberdayaan
masyarakat dalam konteks Indonesia, keberadaan dan peran pesantren tidak dapat
dikesampingkan.
Lembaga keagamaan yang memiliki karakteristik khas
Indonesia ini secara substansial merupakan institusi keagamaan yang tidak
mungkin bisa dilepaskan dari masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan.
Pesantren tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat, dengan posisinya
sebagai institusi yang berperan melakukan transformasi sosial bagi masyarakat
yang ada di lingkungannya.
Dalam konteks kekinian, ijtihad pesantren untuk
mengembangan ilmu keislaman “tradisional” dengan bingkai aswaja dan moralitas
luhur, cenderung dicurigai dan sering diasosiasikan dengan predikat yang dapat
menimbulkan kesalahpahaman, seperti fundamentalisme, ekstrimisme, radikalisme
dan bahkan terorisme.
Dalam kaitan ini maka sungguh merupakan tantangan dan
panggilan bagi pesantren untuk meluruskan pembiasan terhadap eksistensi
pesantren dari stigmatisasi negatif diatas. Pesantren harus kembali menekankan
karakter dasarnya sebagai lembaga keagamaan dengan karakteristik yang pluralis,
berwatak kerakyatan dan kebangsaan. Pada tataran inilah sejatinya terletak
peran dan sumbangsih konkret dunia pesantren dalam memberdayakan masyarakat dan
membangun solidaritas kebangsaan.
Dalam konteks ini, pesantren yang memiliki pengaruh kuat
di kalangan masyarakat, khususnya di daerah pedesan, dapat mengaktualisasikan
kembali peran sejarahnya dalam proses nation building, melalui upaya
membangkitkan kembali semangat republik untuk membentengi karakter
“keindonesiaan” yang menjadi bagian integral dari falsafah bangsa.
Semangat republik perwujudannya berupa upaya memperkuat
ikatan emosional kebangsaan dengan pemikiran dan atribut yang mendasari
terbentuknya Republik Indonesia, seperti cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945,
Pancasila, Pembukaan UUD 1945 dan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam
batang tubuh, NKRI sebagai bentuk final, dan warisan nilai-nilai kejuangan
founding fathers.
II.
Peran Kekinian Pesantren
a.
Akar Sejarah Pesantren
Sejak awal pesantren
telah menunjukkan perannya
secara nyata dalam proses pembentukan dan pembangunan bangsa
(nation-building), baik ketika masa penjajahan kolonial, menjelang kemerdekaan
dan paska kemerdekaan sampai sekarang.
Pada masa penjajahan, kaum santri (baca : pesantren)
berjuang dengan gigih dan tanpa pamrih untuk membebaskan rakyat dan negeri ini
dari penjajahan bangsa kolonial. Kepemimpinan tradisional dalam masyarakat
pedesaan, khususnya kaum santri, berada di tangan para kyai yang secara tradisi
mempunyai kedudukan sebagai pelindung masyarakat dan penyebar agama. Para kyai
inilah yang memimpin para santri dan masyarakat pedesaan memberontak terhadap
kekuasaan kolonial pada abad XIX.
Pada saat menjelang kemerdekaan, ketika akan ditetapkan
dasar negara, elite pesantren dengan legowo dan berjiwa besar, menerima usulan
masyarakat Indonesia dari Indonesia
Timur, yang notabene non-muslim, agar tidak mencantumkan “Piagam
Jakarta” sebagai dasar negara. Fakta sejarah ini menunjukkan bagaimana kalangan
santri pada waktu itu telah memiliki wawasan kebangsaan yang patut diteladani,
demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Setelah masa kemerdekaan, pesantren ikut berperan aktif
dalam mengisi kemerdekaan dengan memposisikan sebagai “benteng moral” bangsa
yang berusaha mengikis habis warisan-warisan budaya kolonial. Bahkan dalam
memerangi paham komunisme di Indonesia, pesantren terlibat secara fisik melawan
PKI dengan varian-variannya.
Sejalan dengan perkembangan jaman, peran pesantren sebagai
agen perubahan dalam realitas sosial mengalami reposisi dan reaktualisasi.
Pesantren dengan tokoh sentralnya para kyai tidak lagi hanya terbatas melakukan
proses rekonstruksi tatanan sosial dan budaya, tetapi juga terlibat dalam
proses rekonstruksi tatanan politik di negeri ini. Karenanya tidak mengherankan
jika banyak bermunculan tokoh-tokoh dengan latar belakang pesantren dalam skala
nasional, sesuai dengan back ground sosio kultural dan kapabilitasnya. Tokoh
dengan latar belakang pesantren, ikut berperan aktif dalam berbagai segi
kehidupan berbangsa dan bernegara.
b. Pesantren
sebagai Agen pembaharu
Sejak kehadirannya sebagai institusi keagamaan di daerah
pedesaan, pesantren mendedikasikan pengabdiannya kepada masyarakat pedesaan
secara sederhana. Pengabdian tersebut diwujudkan dalam bentuk pelayanan yang
bersifat keagamaan kepada masyarakat. Kehadiran pesantren pada awalnya menjadi
tempat sosialisasi anak-anak dan remaja, sekaligus tempat belajar agama.
Pesantren berikhtiar meletakkan visi dan kiprahnya dalam kerangka pengabdian
sosial, yang pada mulanya ditekankan kepada pembentukan moral keagamaan. Pada
perkembangannya peran pesantren dikembangkan kepada upaya pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks seperti ini, pendidikan di pesantren
pada dasarnya merupakan pendidikan yang sarat dengan nuansa transformasi
sosial.
Kiprah pesantren menjadi salah satu alternatif dalam upaya
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di Indonesia. Pada akhir dasa warsa
70-an dan dekade 80-an, pesantren melakukan kegiatan yang secara substantif
fokus pada kebutuhan riil masyarakat, seperti pengembangan ekonomi, pelestarian
lingkungan, atau pemanfaatan teknologi alternatif yang tepat guna.
Proses transformasi sosial yang diperankan pesantren di
lingkungan masyarakat ini, sampai derajat tertentu telah mampu
menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat tentang arti kehidupan dan membangun
pemahaman masyarakat terhadap persoalan konkret yang mereka hadapi, sehingga
masyarakat lebih siap dan berdaya dalam menyikapi kehidupan dengan segala
kompleksitas persoalannya. Pesantren mampu hadir sebagai agen pembaharu, di tengah
lingkungan masyarakatnya.
Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan pesantren relatif
memberikan makna substansial, karena pesantren telah memperkenalkan “proses”
ketimbang sekedar “hasil”. Hal yang lebih esensial, pesantren telah
menumbuhkembangkan nilai-nilai ketimbang hal-hal yang bersifat materiil.
Pengabdian pesantren kepada masyarakat lingkungannya ini merupakan manifestasi
dari nilai-nilai yang dianut pesantren.
Nilai pokok yang selama ini berkembang dalam dunia
pesantren adalah “kehidupan diyakini sebagai ibadah”. Dengan demikian,
kehidupan duniawi disubordinasikan dalam rangkuman nilai-nilai ilahi yang
dianut sebagai sumber nilai tertinggi. Dari nilai pokok ini berkembang
nilai-nilai luhur yang lain, seperti keikhlasan, kesederhanaan, atau kemandirian.
Nilai-nilai ini merupakan dasar yang dijadikan landasan pesantren dalam
pendidikan dan pengembangan masyarakat, yang pada tahap selanjutnya
dikembangkan sebagai nilai yang perlu menjadi anutan masyarakat luas.
Pada sisi yang lain, pesantren tampaknya belum sepenuhnya
dapat membumikan nilai-nilai akhalqul qarimah sebagai bagian intrinsik
keberagaman masyarakat. Ini terindikasi dari merebaknya kekerasan dan kejahatan
yang sebagian pelakunya memiliki “hubungan” dengan pesantren. Padahal,
hakekatnya pemberdayaan masyarakat dalam perspektif pesantren merupakan upaya
pengembangan masyarakat yang muaranya menjadikan masyarakat yang berkeadaban,
mandiri, dan sejahtera sesuai nilai dan ajaran Islam yang menjadi anutan
pesantren. Bahkan, pesantren sesuai peran historisnya dapat mengaktualisasikan
proses internalisasi nilai-nilai kebangsaan, baik di kalangan santri maupun
masyarakat di lingkungannya.
c. Pesantren
dalam Proses Nation Building
Kesadaran berbangsa sudah terbangun jauh sebelum
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Di dalam negeri, kesadaran berbangsa
ditandai dengan munculnya gerakan kebangsaan yang direpresentasikan dengan
berdirinya perhimpunan kebangsaan seperti Budi Utomo (1908).
Mendahului gerakan kebangsaan yang cikal bakalnya adalah
Budi Utomo, pada awal abad XX kaum santri berhasil menghimpun kekuatan dalam
masyarakat untuk melancarkan gerakan guna melakukan perubahan dalam masyarakat
pribumi. Gerakan perubahan yang dimotori oleh Serikat Islam (SI) telah mengubah
sifat tatanan ekonomi, hubungan sosial, kehidupan agama, dan politik.
Kemunculan SI yang kemudian menjadi organisasi massa, merupakan puncak pertama
mobilisasi massa sebagai basis kekuatan sosial politik umat Islam Indonesia.
Tidak kalah pentingnya dengan kemunculan Budi Utomo sebagai gerakan kebangsaan
di Tanah Air, para pelajar dan mahasiswa Indonesia di luar negeri juga
menyatakan kesadaran berbangsanya dengan membentuk Perhimpunan Indonesia
(1908).
Kesadaran berbangsa semakin mengkristal, ketika para
pemuda Indonesia sepakat untuk mengekspresikan sikap kebangsaannya melalui
Kongres Pemuda yang menghasilkan pernyataan Sumpah Pemuda (1928). Gerakan
kebangsaan yang mengerucut dengan komitmen Sumpah Pemuda menjadi rintisan dan
penegasan akan tujuan utama kesadaran berbangsa, yaitu melahirkan bangsa
Indonesia yang menegara di wilayah yang menjadi tanah airnya.
Dari uraian ini dapat ditarik benang merah tentang wawasan
kebangsaan, yaitu cara pandang bangsa tentang diri dan lingkungannya, disertai
oleh falsafah cita-cita dan tujuan nasional atau ideologinya serta kemungkinan
penyesuaian di dunia yang dinamis (terus berubah). Bila ditinjau dari proses
terbentuknya, maka wawasan kebangsaan Indonesia merupakan cara pandang bangsa
Indonesia yang timbul karena kesadaran diri serta tempaan sejarah. Cara pandang
bangsa Indonesia ini mengandung nilai-nilai yang saling menguatkan. Pertama,
pengorbanan, yaitu kesediaan mereduksi berbagai kepentingan sendiri (pribadi,
daerah, golongan, dan sebagainya) untuk lebih mengedepankan kepentingan bersama.
Kedua, kesederajatan, yaitu kesediaan mengambil peran yang sama dalam
perjuangan mewujudkan cita-cita bersama (mencapai taraf kehidupan yang lebih
sejahtera). Nilai ini juga mendorong sikap untuk mengambil peran dalam
penciptakan perdamaian abadi di dunia, diantara bangsa-bangsa. Ketiga,
kekeluargaan, yaitu kesediaan untuk menjalin hubungan harmonis antar kelompok
masyarakat bangsa dan antar bangsa yang saling membutuhkan, tanpa harus
mengorbankan eksistensi kultural ataupun kepentingan nasional.
Membahas pengembangan character building dalam konteks
pesantren, maka peran historis pesantren dalam proses nation building menjadi
modal utama untuk mengaktualisasikan peran kekinian dunia pesantren dalam
proses character building.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan merupakan
realitas yang tidak dapat dipungkiri. Sepanjang sejarah yang dilaluinya,
pesantren terus menekuni pendidikan dan menjadikannya sebagai fokus kegiatan.
Pendidikan model pesantren diarahkan sebagai proses penanaman nilai-nilai dan
perluasan wawasan serta kemampuan santri, sehingga para santri benar-benar
tercerahkan.
Dalam perspektif Islam, pengertian pendidikan semacam itu
telah menemukan kerangka acuan yang jelas sebagaimana sabda Rasulullah : “Wa ma
bu’itstu illa liutammima makarima al-akhlaq”. Untuk memahaminya secara utuh,
hadis tersebut perlu dikaitkan dengan Al Qur’an surat Al-Anbiya’ (21) : 107
dimana Allah berfirman : “Wa ma arsalnaka illa rahmatan li al-alamin”. Berdasar
dua rujukan otentik ini, pendidikan Islam harus dapat mengembangkan manusia
sebagai makhluk yang memiliki moralitas terhadap Allah, terhadap dirinya,
lingkungannya, dan alam keseluruhan. Pesantren sebagai lembaga keagamaan Islam
memiliki tugas untuk meletakkan konsep pendidikan dalam kerangka nilai-nilai
tersebut.
Kontektualisasi dari nilai moralitas terhadap diri dan
lingkungannya jika ditarik pada tataran kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara serta merujuk pada peran sejarah pesantren dalam proses nation
building, akan menjadikan modal bagi pesantren untuk mengembangkan peran sosial
politik pesantren dalam proses character building.
Hal mendasar dalam proses character building ini adalah
meletakkan wawasan kebangsaan pada setiap individu warga negara sesuai dengan
pemahaman masing-masing. Dalam fungsinya sebagai lembaga pendidikan keagamaan
yang bersifat transformatif, pesantren dapat mensosialisasikan dan
menginternalisasikan nilai-nilai kebangsaan pada santri dan masyarakat di
lingkungannya, dengan menggunakan pendekatan dari khazanah keilmuan pesantren.
Konsep dasar dari wawasan kebangsaan yang meliputi
persatuan dan kesatuan; bhineka tunggal ika; kebangsaan; negara kebangsaan;
negara kepulauan; dan geopolitik, perlu dirujukkan pada prinsip-prinsip Islam
seperti tawhid (keesaan Tuhan), ukhuwah (persaudaraan), musawah (persamaan),
‘adl (keadilan), tawazun (keseimbangan), tasamuh (toleransi), ta’addud
(kemajemukan) dan tawassuth (moderat), atau dirujukkan pada khazanah ilmu
keislaman.
Dengan demikian, pengembangan character building akan
memiliki pijakan teologis yang kuat, sehingga pesantren bersama semua elemen di
dalamnya akan terlibat secara aktif untuk membumikan nilai-nilai kebangsaan ke
dalam komunitas santri dan masyarakat di lingkungan pesantren, tanpa harus
meninggalkan kewajiban utamanya sebagai lembaga pendidikan agama.
III.
Penutup
Pesantren sejatinya memiliki potensi besar dalam
mengembangkan character building. Peran historis pesantren dalam proses nation
building, menjadi modal utama bagi dunia pesantren untuk kembali mengambil
peran sosial politik dalam proses character building.
Pendasaran kesadaran pada kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara dalam komunitas santri dan masyarakat di lingkungan
pesantren, akan memberikan arti penting pada proses character building.
Setidaknya, peran pesantren dalam
memberikan kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada santri dan
lingkungannya, akan meletakkan proses pengembangan character building pada
track yang tepat.
Berbicara tentang pengembangan character building, maka
kehadiran pesantren menjadi suatu keniscayaan untuk dilibatkan. Sebab,
sepanjang cacatan sejarah, dunia pesantren terlibat aktif dalam gerakan
kebangkitan kebangsaan. Bahkan, tinta emas dalam catatan sejarah pra
kemerdekaan, dibubuhkan oleh kalangan elite pesantren melalui sikap legowo-nya
dalam menerima usulan perwakilan masyarakat Indonesia Timur yang non-muslim
untuk tidak mencantumkan Syariat Islam sebagai dasar negara.
Dalamnya rasa kebangsaan yang ditunjukkan oleh para kyai
sebagai founding fathers, perlu terus
dipelihara sebagai tradisi pesantren dalam membangun dan mengembangkan
character building. Komitmen kebangsaan tokoh-tokoh Islam yang berasal dari
dunia pesantren di masa lalu, harus pula menjadi komitmen pesantren dalam
konteks kekinian. []
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda