Sabtu, 26 Januari 2013

PERAN PESANTREN DALAM KONTEKS KEKINIAN



 I.          Pendahuluan

Realitas bangsa Indonesia menunjukkan pada 2 (dua) hal yang signifikan. Pertama, penyebaran penduduk Indonesia terkonsentrasi di daerah pedesaan. Kedua, mayoritas penduduk Indonesia terdiri dari komunitas muslim. Terkait dengan realitas diatas, maka berbicara tentang pemberdayaan masyarakat dalam konteks Indonesia, keberadaan dan peran pesantren tidak dapat dikesampingkan.
Lembaga keagamaan yang memiliki karakteristik khas Indonesia ini secara substansial merupakan institusi keagamaan yang tidak mungkin bisa dilepaskan dari masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Pesantren tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat, dengan posisinya sebagai institusi yang berperan melakukan transformasi sosial bagi masyarakat yang ada di lingkungannya.
Dalam konteks kekinian, ijtihad pesantren untuk mengembangan ilmu keislaman “tradisional” dengan bingkai aswaja dan moralitas luhur, cenderung dicurigai dan sering diasosiasikan dengan predikat yang dapat menimbulkan kesalahpahaman, seperti fundamentalisme, ekstrimisme, radikalisme dan bahkan terorisme.
Dalam kaitan ini maka sungguh merupakan tantangan dan panggilan bagi pesantren untuk meluruskan pembiasan terhadap eksistensi pesantren dari stigmatisasi negatif diatas. Pesantren harus kembali menekankan karakter dasarnya sebagai lembaga keagamaan dengan karakteristik yang pluralis, berwatak kerakyatan dan kebangsaan. Pada tataran inilah sejatinya terletak peran dan sumbangsih konkret dunia pesantren dalam memberdayakan masyarakat dan membangun solidaritas kebangsaan.
Dalam konteks ini, pesantren yang memiliki pengaruh kuat di kalangan masyarakat, khususnya di daerah pedesan, dapat mengaktualisasikan kembali peran sejarahnya dalam proses nation building, melalui upaya membangkitkan kembali semangat republik untuk membentengi karakter “keindonesiaan” yang menjadi bagian integral dari falsafah bangsa.
Semangat republik perwujudannya berupa upaya memperkuat ikatan emosional kebangsaan dengan pemikiran dan atribut yang mendasari terbentuknya Republik Indonesia, seperti cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, Pancasila, Pembukaan UUD 1945 dan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam batang tubuh, NKRI sebagai bentuk final, dan warisan nilai-nilai kejuangan founding fathers.

II.            Peran Kekinian Pesantren
a.       Akar Sejarah Pesantren

Sejak  awal  pesantren  telah  menunjukkan  perannya  secara nyata dalam proses pembentukan dan pembangunan bangsa (nation-building), baik ketika masa penjajahan kolonial, menjelang kemerdekaan dan paska kemerdekaan sampai sekarang.
Pada masa penjajahan, kaum santri (baca : pesantren) berjuang dengan gigih dan tanpa pamrih untuk membebaskan rakyat dan negeri ini dari penjajahan bangsa kolonial. Kepemimpinan tradisional dalam masyarakat pedesaan, khususnya kaum santri, berada di tangan para kyai yang secara tradisi mempunyai kedudukan sebagai pelindung masyarakat dan penyebar agama. Para kyai inilah yang memimpin para santri dan masyarakat pedesaan memberontak terhadap kekuasaan kolonial pada abad XIX.
Pada saat menjelang kemerdekaan, ketika akan ditetapkan dasar negara, elite pesantren dengan legowo dan berjiwa besar, menerima usulan masyarakat Indonesia dari Indonesia  Timur, yang notabene non-muslim, agar tidak mencantumkan “Piagam Jakarta” sebagai dasar negara. Fakta sejarah ini menunjukkan bagaimana kalangan santri pada waktu itu telah memiliki wawasan kebangsaan yang patut diteladani, demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Setelah masa kemerdekaan, pesantren ikut berperan aktif dalam mengisi kemerdekaan dengan memposisikan sebagai “benteng moral” bangsa yang berusaha mengikis habis warisan-warisan budaya kolonial. Bahkan dalam memerangi paham komunisme di Indonesia, pesantren terlibat secara fisik melawan PKI dengan varian-variannya.
Sejalan dengan perkembangan jaman, peran pesantren sebagai agen perubahan dalam realitas sosial mengalami reposisi dan reaktualisasi. Pesantren dengan tokoh sentralnya para kyai tidak lagi hanya terbatas melakukan proses rekonstruksi tatanan sosial dan budaya, tetapi juga terlibat dalam proses rekonstruksi tatanan politik di negeri ini. Karenanya tidak mengherankan jika banyak bermunculan tokoh-tokoh dengan latar belakang pesantren dalam skala nasional, sesuai dengan back ground sosio kultural dan kapabilitasnya. Tokoh dengan latar belakang pesantren, ikut berperan aktif dalam berbagai segi kehidupan berbangsa dan bernegara.

b.      Pesantren sebagai Agen pembaharu

Sejak kehadirannya sebagai institusi keagamaan di daerah pedesaan, pesantren mendedikasikan pengabdiannya kepada masyarakat pedesaan secara sederhana. Pengabdian tersebut diwujudkan dalam bentuk pelayanan yang bersifat keagamaan kepada masyarakat. Kehadiran pesantren pada awalnya menjadi tempat sosialisasi anak-anak dan remaja, sekaligus tempat belajar agama. Pesantren berikhtiar meletakkan visi dan kiprahnya dalam kerangka pengabdian sosial, yang pada mulanya ditekankan kepada pembentukan moral keagamaan. Pada perkembangannya peran pesantren dikembangkan kepada upaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks seperti ini, pendidikan di pesantren pada dasarnya merupakan pendidikan yang sarat dengan nuansa transformasi sosial.
Kiprah pesantren menjadi salah satu alternatif dalam upaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di Indonesia. Pada akhir dasa warsa 70-an dan dekade 80-an, pesantren melakukan kegiatan yang secara substantif fokus pada kebutuhan riil masyarakat, seperti pengembangan ekonomi, pelestarian lingkungan, atau pemanfaatan teknologi alternatif yang tepat guna.
Proses transformasi sosial yang diperankan pesantren di lingkungan masyarakat ini, sampai derajat tertentu telah mampu menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat tentang arti kehidupan dan membangun pemahaman masyarakat terhadap persoalan konkret yang mereka hadapi, sehingga masyarakat lebih siap dan berdaya dalam menyikapi kehidupan dengan segala kompleksitas persoalannya. Pesantren mampu hadir sebagai agen pembaharu, di tengah lingkungan masyarakatnya.
Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan pesantren relatif memberikan makna substansial, karena pesantren telah memperkenalkan “proses” ketimbang sekedar “hasil”. Hal yang lebih esensial, pesantren telah menumbuhkembangkan nilai-nilai ketimbang hal-hal yang bersifat materiil. Pengabdian pesantren kepada masyarakat lingkungannya ini merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang dianut pesantren.
Nilai pokok yang selama ini berkembang dalam dunia pesantren adalah “kehidupan diyakini sebagai ibadah”. Dengan demikian, kehidupan duniawi disubordinasikan dalam rangkuman nilai-nilai ilahi yang dianut sebagai sumber nilai tertinggi. Dari nilai pokok ini berkembang nilai-nilai luhur yang lain, seperti keikhlasan, kesederhanaan, atau kemandirian. Nilai-nilai ini merupakan dasar yang dijadikan landasan pesantren dalam pendidikan dan pengembangan masyarakat, yang pada tahap selanjutnya dikembangkan sebagai nilai yang perlu menjadi anutan masyarakat luas.
Pada sisi yang lain, pesantren tampaknya belum sepenuhnya dapat membumikan nilai-nilai akhalqul qarimah sebagai bagian intrinsik keberagaman masyarakat. Ini terindikasi dari merebaknya kekerasan dan kejahatan yang sebagian pelakunya memiliki “hubungan” dengan pesantren. Padahal, hakekatnya pemberdayaan masyarakat dalam perspektif pesantren merupakan upaya pengembangan masyarakat yang muaranya menjadikan masyarakat yang berkeadaban, mandiri, dan sejahtera sesuai nilai dan ajaran Islam yang menjadi anutan pesantren. Bahkan, pesantren sesuai peran historisnya dapat mengaktualisasikan proses internalisasi nilai-nilai kebangsaan, baik di kalangan santri maupun masyarakat di lingkungannya.

c.       Pesantren dalam Proses Nation Building

Kesadaran berbangsa sudah terbangun jauh sebelum proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Di dalam negeri, kesadaran berbangsa ditandai dengan munculnya gerakan kebangsaan yang direpresentasikan dengan berdirinya perhimpunan kebangsaan seperti Budi Utomo (1908).
Mendahului gerakan kebangsaan yang cikal bakalnya adalah Budi Utomo, pada awal abad XX kaum santri berhasil menghimpun kekuatan dalam masyarakat untuk melancarkan gerakan guna melakukan perubahan dalam masyarakat pribumi. Gerakan perubahan yang dimotori oleh Serikat Islam (SI) telah mengubah sifat tatanan ekonomi, hubungan sosial, kehidupan agama, dan politik. Kemunculan SI yang kemudian menjadi organisasi massa, merupakan puncak pertama mobilisasi massa sebagai basis kekuatan sosial politik umat Islam Indonesia. Tidak kalah pentingnya dengan kemunculan Budi Utomo sebagai gerakan kebangsaan di Tanah Air, para pelajar dan mahasiswa Indonesia di luar negeri juga menyatakan kesadaran berbangsanya dengan membentuk Perhimpunan Indonesia (1908).
Kesadaran berbangsa semakin mengkristal, ketika para pemuda Indonesia sepakat untuk mengekspresikan sikap kebangsaannya melalui Kongres Pemuda yang menghasilkan pernyataan Sumpah Pemuda (1928). Gerakan kebangsaan yang mengerucut dengan komitmen Sumpah Pemuda menjadi rintisan dan penegasan akan tujuan utama kesadaran berbangsa, yaitu melahirkan bangsa Indonesia yang menegara di wilayah yang menjadi tanah airnya.
Dari uraian ini dapat ditarik benang merah tentang wawasan kebangsaan, yaitu cara pandang bangsa tentang diri dan lingkungannya, disertai oleh falsafah cita-cita dan tujuan nasional atau ideologinya serta kemungkinan penyesuaian di dunia yang dinamis (terus berubah). Bila ditinjau dari proses terbentuknya, maka wawasan kebangsaan Indonesia merupakan cara pandang bangsa Indonesia yang timbul karena kesadaran diri serta tempaan sejarah. Cara pandang bangsa Indonesia ini mengandung nilai-nilai yang saling menguatkan. Pertama, pengorbanan, yaitu kesediaan mereduksi berbagai kepentingan sendiri (pribadi, daerah, golongan, dan sebagainya) untuk lebih mengedepankan kepentingan bersama. Kedua, kesederajatan, yaitu kesediaan mengambil peran yang sama dalam perjuangan mewujudkan cita-cita bersama (mencapai taraf kehidupan yang lebih sejahtera). Nilai ini juga mendorong sikap untuk mengambil peran dalam penciptakan perdamaian abadi di dunia, diantara bangsa-bangsa. Ketiga, kekeluargaan, yaitu kesediaan untuk menjalin hubungan harmonis antar kelompok masyarakat bangsa dan antar bangsa yang saling membutuhkan, tanpa harus mengorbankan eksistensi kultural ataupun kepentingan nasional.
Membahas pengembangan character building dalam konteks pesantren, maka peran historis pesantren dalam proses nation building menjadi modal utama untuk mengaktualisasikan peran kekinian dunia pesantren dalam proses character building.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan merupakan realitas yang tidak dapat dipungkiri. Sepanjang sejarah yang dilaluinya, pesantren terus menekuni pendidikan dan menjadikannya sebagai fokus kegiatan. Pendidikan model pesantren diarahkan sebagai proses penanaman nilai-nilai dan perluasan wawasan serta kemampuan santri, sehingga para santri benar-benar tercerahkan.
Dalam perspektif Islam, pengertian pendidikan semacam itu telah menemukan kerangka acuan yang jelas sebagaimana sabda Rasulullah : “Wa ma bu’itstu illa liutammima makarima al-akhlaq”. Untuk memahaminya secara utuh, hadis tersebut perlu dikaitkan dengan Al Qur’an surat Al-Anbiya’ (21) : 107 dimana Allah berfirman : “Wa ma arsalnaka illa rahmatan li al-alamin”. Berdasar dua rujukan otentik ini, pendidikan Islam harus dapat mengembangkan manusia sebagai makhluk yang memiliki moralitas terhadap Allah, terhadap dirinya, lingkungannya, dan alam keseluruhan. Pesantren sebagai lembaga keagamaan Islam memiliki tugas untuk meletakkan konsep pendidikan dalam kerangka nilai-nilai tersebut.
Kontektualisasi dari nilai moralitas terhadap diri dan lingkungannya jika ditarik pada tataran kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta merujuk pada peran sejarah pesantren dalam proses nation building, akan menjadikan modal bagi pesantren untuk mengembangkan peran sosial politik pesantren dalam proses character building.
Hal mendasar dalam proses character building ini adalah meletakkan wawasan kebangsaan pada setiap individu warga negara sesuai dengan pemahaman masing-masing. Dalam fungsinya sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang bersifat transformatif, pesantren dapat mensosialisasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai kebangsaan pada santri dan masyarakat di lingkungannya, dengan menggunakan pendekatan dari khazanah keilmuan pesantren.
Konsep dasar dari wawasan kebangsaan yang meliputi persatuan dan kesatuan; bhineka tunggal ika; kebangsaan; negara kebangsaan; negara kepulauan; dan geopolitik, perlu dirujukkan pada prinsip-prinsip Islam seperti tawhid (keesaan Tuhan), ukhuwah (persaudaraan), musawah (persamaan), ‘adl (keadilan), tawazun (keseimbangan), tasamuh (toleransi), ta’addud (kemajemukan) dan tawassuth (moderat), atau dirujukkan pada khazanah ilmu keislaman.
Dengan demikian, pengembangan character building akan memiliki pijakan teologis yang kuat, sehingga pesantren bersama semua elemen di dalamnya akan terlibat secara aktif untuk membumikan nilai-nilai kebangsaan ke dalam komunitas santri dan masyarakat di lingkungan pesantren, tanpa harus meninggalkan kewajiban utamanya sebagai lembaga pendidikan agama.

    III.            Penutup

Pesantren sejatinya memiliki potensi besar dalam mengembangkan character building. Peran historis pesantren dalam proses nation building, menjadi modal utama bagi dunia pesantren untuk kembali mengambil peran sosial politik dalam proses character building.
Pendasaran kesadaran pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam komunitas santri dan masyarakat di lingkungan pesantren, akan memberikan arti penting pada proses character building. Setidaknya,  peran pesantren dalam memberikan kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada santri dan lingkungannya, akan meletakkan proses pengembangan character building pada track yang tepat.
Berbicara tentang pengembangan character building, maka kehadiran pesantren menjadi suatu keniscayaan untuk dilibatkan. Sebab, sepanjang cacatan sejarah, dunia pesantren terlibat aktif dalam gerakan kebangkitan kebangsaan. Bahkan, tinta emas dalam catatan sejarah pra kemerdekaan, dibubuhkan oleh kalangan elite pesantren melalui sikap legowo-nya dalam menerima usulan perwakilan masyarakat Indonesia Timur yang non-muslim untuk tidak mencantumkan Syariat Islam sebagai dasar negara.
Dalamnya rasa kebangsaan yang ditunjukkan oleh para kyai sebagai founding  fathers, perlu terus dipelihara sebagai tradisi pesantren dalam membangun dan mengembangkan character building. Komitmen kebangsaan tokoh-tokoh Islam yang berasal dari dunia pesantren di masa lalu, harus pula menjadi komitmen pesantren dalam konteks kekinian. []

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar anda