Tercatat sejak tahun 2002, Islamic Education Center
(IEC) Al-Azhar mempelopori berdirinya Sekolah Islam dengan model
Fullday School di Mojokerto
dan sekitarnya.
Satu atau dua dekade yang lalu kita belum mengenal
istilah fullday school atau fullday system. Barangkali istilah
tersebut terdengar asing di telinga kita sehingga belum terpikirkan dalam benak
kita gambaran tentang sekolah dengan konsep fullday system. Sekolah dari
pagi hingga sore, pasti melelahkan, apalagi untuk anak-anak. Barulah beberapa
tahun terakhir ini bermunculan sekolah-sekolah Islam yang menerapkan sistem fullday
school. Anak-anak belajar di sekolah dengan materi pelajaran yang padat.
Menurut Siti Khabibah, S.Ag, M.Pd Kepala SD Islam Plus
Al-Azhar, setidaknya ada tiga alasan yang mendasari lahirnya konsep fullday
school.
Pertama, meminimalkan pengaruh dari luar
terhadap anak sekolah. “Kita mensinyalir banyak masalah serius pada anak-anak
karena terpengaruh dari lingkungan di luar sekolah dan rumah. Dan kebanyakan
lingkungan luar tersebut membawa pengaruh yang negatif bagi anak-anak. Untuk
itulah kita menerapkan fullday school untuk meminimalkan pengaruh
negatif pada anak, termasuk televisi dan media lainnya,” jelasnya.
Kedua, dengan adanya sistem fullday
school menjadi upaya untuk meningkatkan efisiensi waktu. Pada sekolah lain
dengan sistem setengah hari, biasanya anak-anak sekolah sampai siang untuk
mendapatkan pendidikan formal. Kemudian pada sore harinya mereka pergi ke
masjid atau sekolah diniyah sore (TPA) untuk mendapatkan pelajaran agama secara
khusus, atau ada juga yang mengikuti pembelajaran tambahan (les) di rumah. “Di
sinilah letak efisiensi waktu yang kami maksud. Jika yang lain memisahkan
antara waktu belajar formal dengan pendalaman materi agama, maka di Islamic
Education Center (IEC) Al-Azhar semuanya bisa didapatkan di sekolah. Jadi,
dalam sehari, siswa sudah memperoleh pelajaran formal maupun agama karena kami
memberikan jam pelajaran agama yang biasa didapatkan di TPA atau pesantren.
Dengan demikian, orang tua tidak perlu mengantar anak-anak ke TPA lagi karena
pelajarannya sudah diberikan di sekolah,” terangnya lagi.
Ketiga, lanjut Habibah, menjawab kebutuhan
orang tua yang sekarang ini rata-rata mempunyai kesibukan kerja baik di kantor
maupun di rumah masing-masing. Dengan anak-anak seharian di sekolah untuk
belajar, para orang tua tidak lagi direpotkan dengan urusan mengasuh anak,
mengawasi, dan sebagainya. “Apalagi bagi orang tua yang tidak memiliki pembantu
di rumah, pasti kerepotan. Karena itu, sebenarnya banyak orang tua yang
diuntungkan dengan sistem fullday school ini. Di sekolah, mereka tidak
perlu khawatir lagi dengan keselamatan anak dan apa saja yang dilakukan anak.
Karena mereka di lingkungan sekolah, maka otomatis mereka disibukkan dengan
aktivitas belajar dan diawasi oleh para guru.”
Kuncinya, Belajar yang Menyenangkan
Kuncinya, Belajar yang Menyenangkan
Mungkin banyak di antara kita yang berpikir bagaimana
dengan anak-anak sendiri, apakah mereka tidak capek dengan sekolah seharian
penuh? Capek, bosan, jenuh, sudah menjadi konsekuensi logis dari aktivitas yang
dilakukan terus-menerus. Dan bukan hanya anak sekolah saja yang bakal merasa
capek dan bosan dengan belajar seharian penuh. Orang tua dan para pekerja yang
bekerja seharian penuh sudah barang tentu capek.
Hal itu tidak disangkal oleh Habibah. Karenanya, dia
tidak kaget lagi dengan komentar seperti itu. Namun, Habibah tetap bisa
memahami bahwa kondisi fisik anak sangat mungkin mengalami rasa capek, lelah,
dan bosan. “Solusinya, anak harus merasa enjoy, senang, dalam belajar di
sekolah. kalau sudah merasa senang, rasa bosan dan jenuh bisa dihindari. Selain
itu, guru-guru yang mengajar diharuskan memiliki metode pengajaran yang
bervariasi dan menarik bagi anak. Ini terbukti di Islamic Education Center
(IEC) Al-Azhar, meskipun sehari penuh tapi dengan metode belajar yang
menyenangkan dan active learning, anak-anak tetap terjaga stamina dan
semangatnya untuk belajar tanpa henti,” paparnya. Hal ini terlihat jelas dalam
keseharian anak-anak seperti di SD Islam Plus Al-Azhar yang tetap tampak ceria
dan menikmati waktu belajarnya.
Metode pendekatan yang digunakan untuk pembelajaran di
sekolah biasa dengan fullday school juga berbeda. Habibah mengumpamakan
anak yang belajar di fullday school ibarat orang yang makan di warung.
Sekali masuk ke warung, pesan makanan dan langsung dihabiskan di sana, sehingga
begitu keluar dari warung sudah dalam kondisi kenyang. Artinya, di sekolah dengan
sistem fullday school, anak-anak masuk dari pagi hingga sore sudah
belajar dengan tuntas. Apa yang harus dipelajari hari itu sudah diselesaikan
semuanya di sekolah dan di rumah tinggal mengulang sekilas saja dan tidak perlu
ikut lembaga bimbingan belajar (bimbel) atau les. Jadi, di fullday school,
guru tidak boleh hanya “mengajar” tetapi juga harus “membelajarkan” anak.
Pembelajaran di sekolah harus dilakukan dengan efektif dan tuntas.
Sementara di sekolah setengah hari (umum), biasanya
anak-anak pulang ke rumah dengan membawa setumpuk PR dan tugas. Sehingga mereka
harus mengikuti tambahan jam belajar di bimbel atau memanggil guru les privat.
Kalau yang seperti ini, Habibah menyebutnya seperti orang kulakan (beli barang
untuk dijual lagi), masih perlu mengolah lagi di rumah. “Jadi, mereka baru
menerima materi pelajaran di sekolah, mereka belum dikatakan belajar. Setelah
pulang sekolah baru mereka belajar di rumah dengan les atau ikut bimbel,”
katanya.
Untuk mengatasi kejenuhan dan kelelahan anak dalam
belajar, di SD Islam Plus Al-Azhar contohnya, anak-anak diberikan jeda waktu
untuk istirahat pada setiap pergantian mata pelajaran. Waktu yang hanya sepuluh
menit itu biasanya mereka gunakan untuk pergi ke kamar mandi, bermain, bahkan
ada juga yang sempat jajan. Berbeda dengan SMP Islam Al-Azhar, tidak seperti
adik-adik mereka, tidak ada waktu jeda pada setiap pergantian mata pelajaran.
Mungkin karena faktor usia yang dipandang cukup mampu menyesuaikan dengan
jadwal yang padat. Namun, anak didik SMP Islam Al-Azhar tetap bisa memanfaatkan
waktu pergantian mata pelajaran dengan refreshing sebentar sembari menunggu
guru datang.
Di SD Islam Plus Al-Azhar, anak-anak seharusnya tidak
dituntut belajar di rumah seberat anak-anak sekolah setengah hari lainnya. Guru
seharusnya tidak memberikan PR yang memberatkan, tetapi anak-anak diberi PR
untuk melakukan kegiatan yang belum didapat di sekolah. Kegiatan itu antara
lain shalat berjamaah, silaturrahmi, membantu orang tua dan sebagainya.
Proses belajar seoptimal mungkin dilakukan di sekolah.
Dan di sekolah, Habibah mengatakan anak-anak tidak hanya menerima transfer ilmu
tapi juga dituntun untuk memperolehnya sendiri, salah satunya dengan jalan
praktikum. Metode penyampaian materi pelajaran kepada anak juga bervariasi dengan
permainan misalnya, sehingga anak-anak menikmatinya. Guru tidak hanya bertindak
sebagai pemberi materi, tapi sebagai fasilitator agar anak menguasai ilmu tanpa
menggantungkan kepada pemberian guru semata tetapi juga mendorong anak untuk
aktif belajar. []
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda